Gunung Pawitra yang lebih dikenal dengan Gunung Penanggungan sangat terkenal di kalangan pendaki, peneliti purbakala dan sejarawan. Gunung Penanggungan dikenal memiliki nilai sejarah tinggi karena di daerah lerengnya banyak ditemukan peninggalan purbakala.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa Gunung Penanggungan disebut sebagai gunung suci di tanah Jawa. Berbagai cerita sejarah mulai terkuak satu demi satu dan siapapun tidak pernah mengira bahwa gunung yang berjarak 60 kilometer dari Surabaya ini terlalu lama menutup diri.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa Gunung Penanggungan disebut sebagai gunung suci di tanah Jawa. Berbagai cerita sejarah mulai terkuak satu demi satu dan siapapun tidak pernah mengira bahwa gunung yang berjarak 60 kilometer dari Surabaya ini terlalu lama menutup diri.
Gunung Penanggungan berada di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Gunung berketinggian 1.653 mdpl ini berada satu kluster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang.
Asal mula Gunung Penanggungan ada banyak versi. Beberapa sumber mengaitkannya dengan mitos bahwa 'penanggungan' berasal dari kata menanggung kesalahan dari orang terdahulu. Namun, arkeolog Ismail Lutfi mengungkapkan bahwa nama Gunung Penanggungan diambil dari nama Desa di bagian selatan gunung, sedangkan nama kunonya adalah pawitra atau suci (menurut prasasti Cunggrang).
Gunung Penanggungan dikelilingi oleh empat gunung di sekitarnya yaitu Gunung Gajah Mungkur (1.084 mdpl), Gunung Bekel (1.240 mdpl), Gunung Sarah Klopo (1.235 mdpl) dan Gunung Kemuncup (1.238 mdpl). Sedangkan untuk jalur pendakian, ada tujuh jalur pendakian yang bisa dilewati, tapi hanya 2 jalur pendakian yang resmi dibuka yaitu Jalur Pendakian Gunung Penanggungan via Tretes dan Jalur Pendakian Gunung Penanggungan via Jolotundo.
Legenda Gunung Penanggungan
Dilihat dari bentuknya, Gunung Penanggungan menyerupai miniatur Gunung Semeru. Hal ini diperkuat dengan adanya legenda bahwa Gunung Penanggungan memiliki hubungan dengan Gunung Semeru.
Dari Kitab Jawa Kuna Tantu - Panggelaran,mengisahkan bahwa awalnya Jawadwipa (Pulau Jawa) terombang ambing oleh ombak Samudra Hindia dan Laut Jawa. Para dewa yang melihat bahwa Pulau Jawa sangat baik untuk perkembangan peradaban manusia, beramai-ramai memindahkan Gunung Meru (pusat alam semesta) yang ada di India dengan cara menggotongnya terbang ke angkasa.
Kisah Gunung Meru |
Dalam perjalanan itu, Gunung Meru tercecer menjadi pegunungan di bagian barat dan tengah pulau Jawa. Gunung Meru pun diletakkan di Jawa Timur menjadi Gunung Semeru.
Untuk menstabilkan bagian timur Jawa, maka dewa memotong puncak Gunung Meru dan meletakkannya di ujung timur yang dikenal dengan Gunung Penanggungan. Legenda inipun diyakini sebagai asal mula Gunung Penanggungan.
Peninggalan Purbakala Gunung Penanggungan
Dilihat dari sisi sejarah, Gunung Penanggungan memiliki nilai yang sangat penting karena di sekujur lerengnya terdapat berbagai peninggalan purbakala seperti candi, pertapaan, petirtaan dan gua, dari periode Hindu - Budha. Candi di Gunung Penanggungan sangat unik dengan bangungan yang menempel pada dinding gunung, tidak berdiri sendiri.
Adanya kebakaran hutan di lereng gunung bagian barat pada tahun 1920, mengawali penemuan puluhan situs arkeologi dan artefak di Gunung Penanggungan.
Berikut adalah penelitian peninggalan purbakala di Gunung Penanggungan :
- 1915 - Peneliti berkebangsaan Belanda menemukan satu situs yaitu petirtaan Jolotundo di kaki gunung yang merupakan bangunan dengan angka tahun tertua di Jawa Timur (977 M, dalam tahun saka 899).
- 1925 - WF Stuterheim mengadakan penelitian peninggalan monumen dan artefak dari abad 10-16 M di lereng gunung dan menyimpulkan makna Gunung Penanggungan bagi masyarakat jawa kuno yang erat kaitannya dengan tradisi pemujaan kepada para dewa, dengan ditemukannya banyaknya bangunan suci di lereng gunung.
- 1951 - Van Romont menemukan ada 81 buah tinggalan purbakala berbentuk punden berundak - undak.
- 1983 - Tim peneliti UI melakukan penelitian menemukan 41 situs.
- 1990-1991 - DITLINBINJARAH mencatat 51 buah peninggalan purbakala yang berkaitan dengan bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan.
- 2012-2014 - Ditemukan 116 situs percandian atau objek kepurbakalaan seperti Gapura Jedong (926 M), Petirtaan Belahan, Candi Kendalisodo, Candi Merak, Candi Yudha, Candi Pandawa dan Candi Selokelir (ada di kisah Pararaton). Dipelopori sejarawan Hadi Sidomulyo, ekspedisi menemukan 102 situs di bagian atas dan 18 situs di bagian bawah.
- 2015 - Peneliti UTC (Ubaya Training Center) dalam ekspedisinya menemukan dua jalur kuno hingga puncak gunung dengan lebar 1,5-2 meter, yang diyakini sebagai jalan pendakian pada masa lalu. 2 jalan melingkar rapi berupa tumpukan batu dan ada jalur zig zag yang menghubungkan dua jalan tersebut.
Jalur kuno tersebut diyakini sebagai jalan ke tempat pemujaan pada masa lalu. Ditemukanya jalur kuno ini juga menjadi pro-kontra karena jalur ini sudah pernah ditemukan sebelumnya, namun tidak dipublikasikan.
Jalur Kuno Gunung Penanggungan |
Menurut Arkeolog Ismail Lutfi, berdasarkan jumlah bangunan yang ditemukan di lereng gunung, mayoritas berasal dari Kerajaan Majapahit, tetapi sudah diawali sejak abad 10 di periode Mataram Hindu. Bangunan abad 11 dan 12 juga ada, tapi yang paling banyak pada abad 14 di jaman Majapahit. Hal ini merupakan suatu tanda tanya, ada apa masa itu?, kenapa bangunan begitu banyak?.
Berdasarkan bukti sejarah di lerengnya, Gunung Penanggungan disakralkan sejak abad 10 M. Prasasti Cunggrang yang bertanggal 18 September 929 M yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok memerintahkan agar Desa Cunggrang dijadikan daerah bebas pajak.
Penghasilan desa akan dipersembahkan untuk pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasrama ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung. Dari prasasti tersebut bisa dipastikan pada masa itu telah ada bangunan suci dan asrama pertapa.
Prasasti Cunggrang |
Dinding punden berundak dihias dengan relief Sudamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan bidadari), Panji (roman putra mahkota Jenggala dan putri Kediri), Ramayana dan kisah-kisah hewan.
Peninggalan purbakala lainnya berupa candi, 19 gua pertapaan, deretan anak tangga batu, gentong-gentong batu, altar persajian tunggal, batu dengan relief, prasasti dan ribuan pecahan gerabah berbagai bentuk.
Ada beberapa candi yang dapat dijumpai ketika menuruni gunung melalui Jalur Pendakian via Jolotundo, seperti Candi Gentong, Candi Sinta, Candi Putri, Candi Bayi dan Candi Pura. Selain Jolotundo, jika ingin melihat peninggalan purbakala bisa juga melewati jalur Ngoro.
Situs di Jalur Pendakian |
Sejarah Gunung Penanggungan
Penelitian situs purbakala di lereng Gunung Penanggungan yang mencapai puluhan, memiliki ciri khas yang sama yaitu berupa punden berundak. Punden berundak berhubungan dengan tradisi pemujaan nenek moyang. Konsep religi Hindu-Budha di Indonesia menganggap bahwa gunung sebagai tempat tinggal leluhur yang sudah meninggal.
Dalam era Hindu-Budha, Gunung Penanggungan merupakan pusat kegiatan kaum resi yaitu mereka yang mengundurkan diri dari dunia dan memilih menyepi di keheningan alam pegunungan yang asri. Apabila kaum resi bermukim di lerengnya, akan lebih mendekati rahmat dewa dan lebih mudah berkomunikasi dengan para dewa, mengingat Gunung Penanggungan adalah puncak Mahameru.
Pada masa kerajaan Majapahit inilah bangunan suci sebagai pemujaan arwah leluhur (Hindu-Budha) beralih fungsi menjadi tempat pemujaan pada dewa. Para pertapa dan masyarakat pada masa itu pun banyak membangun lagi tempat pemujaan di area lereng Gunung Penanggungan.
Dalam kitab Negarakertagama, disebutkan bahwa Prabu Hayam Wuruk sering mengunjungi Gunung Penanggungan untuk bersembahyang maupun menghabiskan waktu di petirtaan Jolotundo. Dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 58 : 1, Hayam Wuruk singgah di Cunggrang, asrama para pertapa di tepi jurang.
Petirtaan Jolotundo |
Ditinjau dari pahatan candrasengkala atau angka tahun dalam tarikh saka pada beberapa bangunan serta relief cerita yang ada di sebagian besar bangunan, dipastikan bahwa peninggalan purbakala tersebut berasal dari masa akhir kerajaan Majapahit (abad 15 M).
Banyaknya situs yang tersebar di Gunung Penanggungan memang menarik untuk diteliti, namun berbagai penelitian seperti tidak pernah tuntas menguak sejarah yang ada dan masih menjadi misteri. Pembangunan candi-candi menggambarkan betapa gigihnya peradaban nenek moyang berabad-abad lalu. Eksploitasi yang telah dilakukan, diharapkan dapat menjaga dan melestarikan keberadaan situs agar tidak punah.