Selama ini Gunung Lawu dikenal sebagai pusat kegiatan spiritual di tanah Jawa dan ada hubungan dengan tradisi serta budaya keraton. Selain menjadi buruan para pelaku spiritual, Gunung Lawu juga sangat populer di kalangan pendaki gunung.
Gunung yang terkenal angker dan menyimpan misteri ini memiliki mitos sebagai tempat sakral di tanah Jawa. Hal itu tak lain karena adanya beberapa peninggalan sejarah yang masih nampak di sekitar lerengnya, termasuk tempat moksa Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya sangat lekat kaitannya dengan Gunung Lawu dan hal itu membuat kisah Gunung Lawu sangat menarik untuk ditelusuri.
Secara administratif, Gunung Lawu berada di antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar, Ngawi dan Magetan. Menjadi batas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Gunung Lawu masuk dalam jajaran 10 Gunung Tertinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekaligus Seven Summit of Java.
Gunung yang terkenal angker dan menyimpan misteri ini memiliki mitos sebagai tempat sakral di tanah Jawa. Hal itu tak lain karena adanya beberapa peninggalan sejarah yang masih nampak di sekitar lerengnya, termasuk tempat moksa Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya sangat lekat kaitannya dengan Gunung Lawu dan hal itu membuat kisah Gunung Lawu sangat menarik untuk ditelusuri.
Secara administratif, Gunung Lawu berada di antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar, Ngawi dan Magetan. Menjadi batas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Gunung Lawu masuk dalam jajaran 10 Gunung Tertinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekaligus Seven Summit of Java.
Sebagai pusat kegiatan spiritual, Gunung Lawu memiliki beberapa hal unik, mulai dari peninggalan sejarah, kisah Prabu Brawijaya V, mitos dan misteri yang selalu menjadi cerita turun-temurun di masyarakat sekitarnya maupun pendaki gunung.
Pelarian Prabu Brawijaya V
Pada masa akhir Kerajaan Majapahit (1400M), kerajaan mengalami pasang surut di dalam pemerintahan Prabu Brawijaya V. Putra Brawijaya V yang bernama Raden Patah mendirikan kerajaan islam yaitu Kerajaan Demak yang menjadi kerajaan besar di Jawa. Brawijaya gagal membujuk Raden Patah untuk kembali ke kerajaannya dan menolak jika Kerajaan Demak menjadi bawahan Kerajaan Majapahit.
Berawal dari pemberontakan menantunya sendiri, Prabu Brawijaya pindah ke Kerajaan Demak. Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya untuk memeluk agama islam, tetapi Prabu Brawijaya menolak ajakan Raden Patah.
Prabu Brawijaya tidak ingin terus berdebat yang akan mengakibatkan peperangan dengan anaknya sendiri akhirnya memilih jalan untuk melarikan diri bersama pengikutnya ke Karanganyar.
Ada beberapa peninggalan Prabu Brawijaya di masa pelariannya :
Prabu Brawijaya tidak ingin terus berdebat yang akan mengakibatkan peperangan dengan anaknya sendiri akhirnya memilih jalan untuk melarikan diri bersama pengikutnya ke Karanganyar.
Ada beberapa peninggalan Prabu Brawijaya di masa pelariannya :
- Candi Sukuh : Berada di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kabupaten Karanganyar. Disini Prabu Brawijaya dan pengikutnya membangun Candi sukuh dan tetap memeluk agama Hindu. Sebelum candi selesai, pasukan Demak kembali mengejar sang prabu yang membuatnya berlari ke timur.
- Candi Cetho : Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kab.Karanganyar. Disini Prabu Brawijaya membangun Candi Cetho. Disini dia dikejar pasukan dari Cepu di bawah pimpinan Adipati Cepu yang menaruh dendam lama. Prabu lari ke arah Gunung Lawu
- Bulak Peperangan : Berada di lereng Gunung Lawu. Di lokasi ini konon terjadi pertempuran antara pengikut Prabu Brawijaya dan pasukan yang mengejarnya. Baca : Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho
Candi Cetho |
Bulak Peperangan |
Geram dikejar pasukan Cepu, dalam persembunyianya di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu :
"Sawijining ono anggone uwong cepu utawi turunane Adipati Cepu pinarak sajroning gunung lawu bakale kengeng nasib ciloko lan agawe biso lungo ing gunung lawu. "
artinya :
"Jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu."
"Jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu."
Sampai sekarang, tuah sumpah Raja terakhir Majapahit Prabu Brawijaya masih diikuti oleh orang daerah Cepu khususnya keturunan Adipati Cepu.
Gunung Lawu dan Brawijaya V
Dalam pertapaannya di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya ditemani oleh abdi dalem setianya, Sabdo Palon dan Noyo Genggong. Di sekitar puncak Gunung Lawu, ada beberapa tempat yang pernah digunakan oleh Prabu Brawijaya, yaitu :
- Sendang Drajat : Mata air ini dulunya adalah tempat pemandian Prabu Brawijaya V. Air ini dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
- Sendang Panguripan : Air ini pernah dimanfaatkan oleh Prabu Brawijaya dan kini dipercaya memiliki kekuatan magis.
- Sumur Jalatundo : Sumur Jalatundo merupakan gua vertikal sedalam lima meter yang dipercaya sebagai tempat Prabu Brawijaya V menerima wangsit selama di Gunung Lawu.
Sendang Drajat |
Raden Patah yang belum kehabisan akal, mengutus penasihat keraton Demak yaitu Sunan Kalijaga untuk memberikan pencerahan mengenai agama Islam kepada ayahnya. Sunan Kalijaga pergi ke tempat pesanggrahan Prabu Brawijaya di Gunung Lawu. Sunan Kalijaga berhasil memberikan pencerahan kepada sang Prabu yang akhirnya bersedia masuk Islam.
Masuknya Islam Prabu Brawijaya menyebabkan kemurkaan Sabda Palon dan Naya Genggong. Keduanya yang tidak bisa berbuat banyak di hadapan Sunan Kalijaga akhirnya pergi meninggalkan Prabu Brawijaya dan bersumpah akan kembali ke tanah Jawa 500 tahun lagi.
Masuknya Islam Prabu Brawijaya menyebabkan kemurkaan Sabda Palon dan Naya Genggong. Keduanya yang tidak bisa berbuat banyak di hadapan Sunan Kalijaga akhirnya pergi meninggalkan Prabu Brawijaya dan bersumpah akan kembali ke tanah Jawa 500 tahun lagi.
Prabu Brawijaya'pun menjalani tapa brata hingga akhirnya moksa di salah satu puncak Gunung Lawu yaitu di puncak Hargo Dalem. Sedangkan puncak Hargo Dumiling dipercaya menjadi tempat moksa Sabda Palon.
Petilasan Prabu Brawijaya |
Dipa Menggala dan Wangsa Menggala
Ada versi lain yang menceritakan tentang pelarian Prabu Brawijaya ke Gunung Lawu dan kisah ini juga masih dipercaya masyarakat sekitar turun temurun. Konon diceritakan bahwa Prabu Brawijaya pergi sendiri ke Gunung Lawu untuk menghindari pasukan Demak dan Cepu.
Di tengah perjalanan menuju puncak gunung, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun di kaki gunung bernama Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Mereka menemani sang prabu untuk mengasingkan diri di Gunung Lawu.
Di tengah perjalanan menuju puncak gunung, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun di kaki gunung bernama Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Mereka menemani sang prabu untuk mengasingkan diri di Gunung Lawu.
Karena kesetiaannya kepada Sang Prabu, Dipa Menggala diangkat menjadi penguasa Gunung Lawu hingga ke barat meliputi Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, ke timur meliputi Gunung Wilis, ke selatan hingga pantai selatan dan ke utara hingga pantai utara.
Dipa Menggala membawahi seluruh makhluk gaib dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Sedangkan Wangsa Manggala diangkat sebagai patih dengan gelar Kiai Jalak.
Dipa Menggala membawahi seluruh makhluk gaib dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Sedangkan Wangsa Manggala diangkat sebagai patih dengan gelar Kiai Jalak.
Sampai akhir hayat Prabu Brawijaya moksa di Gunung Lawu, kedua kepala dusun ini melakukan tanggung jawab yang diberikan Sang Prabu untuk menjaga Gunung Lawu.
Hingga kini, Gunung Lawu masih sering dikunjungi oleh pelaku spiritual yang masih menjaga kebudayaan hingga kini. Salah satu kebudayaan yang masih dijalankan sampai saat ini adalah tradisi malam 1 suro atau 1 Muharam dalam penanggalan Islam.
Tradisi memperingati malam 1 Suro di Gunung Lawu telah berlangsung turun-temurun dan selalu di jaga keberadaannya oleh masyarakat sekitar terutama masyarakat Jawa. Tidak hanya terbuka untuk masyarakat sekitar, panorama alam Gunung Lawu juga memikat mata para pecinta khususnya pendaki di pulau Jawa.
Tradisi memperingati malam 1 Suro di Gunung Lawu telah berlangsung turun-temurun dan selalu di jaga keberadaannya oleh masyarakat sekitar terutama masyarakat Jawa. Tidak hanya terbuka untuk masyarakat sekitar, panorama alam Gunung Lawu juga memikat mata para pecinta khususnya pendaki di pulau Jawa.